Kiss FM Medan – TikTok Indonesia sedang jadi sorotan. Pasalnya, mereka menolak diatur melalui Revisi Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sedang digodok DPR RI. Alasannya? TikTok menilai platform mereka berbeda dari TV atau radio, karena berbasis user generated content (UGC), bukan siaran konvensional.

Head of Public Policy TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, menyampaikan bahwa TikTok bersedia diatur, tapi bukan lewat RUU Penyiaran. Mereka meminta agar regulasi dibuat secara terpisah melalui kementerian, bukan lewat UU yang menyamakan mereka dengan lembaga penyiaran.

Namun, DPR punya pandangan lain. Amelia Anggraini dari Komisi I menegaskan bahwa negara punya kewenangan mengatur media sosial lewat UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi. Sambil menunggu pengesahan RUU Penyiaran, TikTok tetap bisa diminta patuh lewat aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Jika tidak, ancamannya berupa sanksi administratif hingga pemutusan akses.

RUU Penyiaran versi baru ini dirancang untuk memperluas cakupan regulasi penyiaran ke dunia digital. Salah satu poin krusial adalah mengatur algoritma distribusi konten di platform digital, dengan prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas.

Tujuan akhirnya, menurut DPR, adalah menciptakan ekosistem media digital yang adil dan berpihak pada kepentingan nasional — bukan semata-mata reaktif terhadap pelanggaran.

Debat ini menunjukkan betapa pentingnya peran algoritma dalam kehidupan digital kita. Siapa yang bertanggung jawab atas apa yang kita lihat di feed TikTok? Apakah negara berhak ikut campur?

Satu hal yang pasti: dunia digital Indonesia sedang memasuki babak baru regulasi. Dan kreator konten harus siap menghadapi perubahan besar.