6 tahun. Waktu yang cukup lama dalam karir musisi untuk merilis sebuah rilisan debut EP. Namun, layaknya keputusan untuk memiliki anak pertama, berapa pun lamanya, waktu itu tetap akan terasa spesial ketika sang anak itu lahir. Pertunjukan live yang tak terhitung, ratusan bahkan ribuan puntung rokok yang sudah dihisap, lelahnya mata diakibatkan menatap ke komputer rekaman, bongkar pasang personil, hingga naik turunnya semangat untuk bermusik—semua ini dibutuhkan sampai peristiwa monumental itu terjadi.
Sebuah rilisan eponim bernama Psychotic Villager merupakan rilisan yang cukup berbeda. Di kala rilisan folk ternama yang cukup merajalela dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia membicarakan soal kisah patah hati beserta imajinasi yang mengelilinginya di atas musik yang mengalun tenang nan syahdu. Psychotic Villager, sebuah grup folk asal Kota Medan ini, memilih berjalan di jalur yang cukup berbeda. Psychotic Villager berhasil menebang pilih elemen musik yang berakar kuat pada narasi musik folk, soundtrack game berlatar abad pertengahan, aransemen instrumen ala musik baroque, hingga harmonisasi khas musik gospel. Sebuah sajian musik folk lokal yang eklektik.
Psychotic Villager mampu mengakomodir suasana unik nan variatif lewat self-titled EP-nya ini. Entah itu serasa berjalan santai di tepi lereng gunung, menjadi pendamping Jon Snow di ordo The Night’s Watch, ataupun berada dalam suasana lukisan-lukisan karya Pieter Bruegel. Sebuah estetika yang unik dihadirkan oleh sebuah band yang merekam album di kota yang berada di bagian utara pulau Sumatera, yaitu kota Medan. Rilisan mereka ini terdengar seperti bisa saja direkam di sebuah kabin di tengah hutan yang terisolasi di antah berantah, yang kenyataannya, direkam di satu studio yang terletak di lantai dua sebuah gedung berpemandangan khas ala suburban.
“All the money that I need.” Kalimat pertama di lagu pertama album ini cukup menjadi landasan untuk trek-trek yang mengikutinya. Trek ini, yang merupakan salah satu single pertama Psychotic Villager, cukup rasanya menjadi hidangan pembuka. Dengan suara derapan sepatu kuda dan buildup yang dramatis, lengkap dengan alunan musik orkestra yang terdengar apik, tepat rasanya untuk jadi gerbang pertama pendengar untuk masuk ke dunia-dunia yang ditawarkan di tiap lagu yang mengikutinya. Tidak ada lagu yang lebih cocok selain lagu bertemakan soal uang untuk pembuka sebuah album yang banyak membicarakan isu-isu yang dirasakan tiap manusia.
Album ini merupakan album yang cukup personal, namun tidak seperti yang kalian pikirkan. Ia tidak seperti diary ataupun coretan klise yang kadang malu untuk kita tunjukkan, tapi lebih ke refleksi keadaan sehari-hari yang kita alami, dan disampaikan dalam bentuk alkisah maupun legenda yang turun-temurun diceritakan—layaknya salah satu esensi musik folk itu sendiri. Penulisan Adrian Timothy di departemen lirik pada masing-masing trek terasa berakar pada kisah bertemakan perjalanan beserta jarak interpersonal yang cukup jauh. Potongan-potongan lirik seperti “Look at me from the mountain of your throne”; “Oh my son won’t you come back home”; “Our steps were broken / Father”; “Over the ocean / Right over there”; “You won’t go too far / So begone.” Cukup memberi arah terhadap narasi yang dibawa pada trek-trek di EP ini.
Adrian Timothy, sebuah nama dari satu-satunya personil original tersisa dari Psychotic Villager yang juga menjadi roda penggerak projekan musik yang sudah terbentuk dari 2017 ini. Adrian sempat bercerita bahwa obsesinya terhadap video game jadul seperti Chrono Trigger dan franchise Final Fantasy mengantarnya menuju perkenalan kepada gaya komposisi soundtrack game yang berakar kuat terhadap penyelarasan narasi dan suasana melalui musik. Ini juga yang jadi alasan kenapa musik-musik dari Psychotic Villager sedikit banyaknya terdengar mengambil inspirasi dari komposer-komposer soundtrack game seperti Nobuo Uematsu dan juga Yasunori Mitsuda.
Adrian yang juga sempat tergabung dalam band yang memainkan musik-musik space rock ketika masih berkuliah di Yogyakarta dulu sempat bercerita; Bagaimana hal-hal terdekat mulai dari musik, video game, pengalaman hidup, serta cerita-cerita yang ia sering dengarkan menjadi sumber inspirasinya. Seperti di nomor lagu bernuansa baroque bertajuk “Over The Ocean” contohnya. Synth yang terdengar di pembukaan lagu secara tak sadar, sedikit banyaknya terinspirasi dari pembukaan lagu “Heaven” dari Angels & Airwaves, band yang pernah disebut Adrian sebagai band yang diidolainya. Pengalaman pahit seperti isolasi misalnya, dirasa juga menjadi kunci penting bagi Adrian sebagai pencipta lagu. Tidak bisa dipungkiri, ide yang melatarbelakangi trek yang berfokus pada tema harapan, seperti trek syahdu berjudul “Over The Ocean” dan trek energetik, “I Will Keep On Dreaming,” berasal dari harapan personal yang ditemukan dalam kesendirian Adrian ketika pandemi melanda kala itu.
Kecintaan Adrian terhadap soundtrack game masa kecilnya bisa terbukti lewat lagu-lagu buatannya. Sekelabat perasaan-perasaan yang seakan terasa seperti memakai baju zirah sambil menghunuskan pedang besar dan siap untuk bertarung dengan raksasa seperti di kisah-kisah fantasi, seketika datang setelah mendengar alunan biola yang bersanding dengan paduan suara vokal pada salah satu lagu dengan durasi terpanjang bertajuk “Winter Hymne”. Nyanyian Adrian: “With a Shadowmere mounts marching in the snow” berhasil memperkuat elemen narasi khas ala era medieval tersebut. Entah yang dimaksud Shadowmere itu berasal dari game Skyrim atau tidak, yang pasti, penggunaan lirik dengan metafora bak kisah dongeng kolosal maupun legenda rakyat akan dijumpai pada album ini.
Narasi ala folklor dapat didengar di trek “Prodigal Son,” sebuah lagu yang terinspirasi dari cerita sekolah minggu di gereja yang Adrian selalu datangi ketika masih kecil. Bercerita tentang anak bungsu sebuah keluarga kaya yang menghabiskan harta orangtuanya untuk bermain judi. Alih-alih ditolak ketika pulang dengan tangan kosong, anak itu dengan mengejutkan diterima kembali oleh keluarganya. Lewat musik yang sarat akan intensitas musik folk rock, blokingan kord organ beserta denyutan permainan drum, lengkap dengan rambasan gitar energik dan alunan strings ala musik klasik di sepanjang lagu. Trek ini seakan menjadi soundtrack petualangan yang cocok bagi sang anak di cerita tersebut. Hal ini juga menunjukkan selarasnya komposisi musik beserta lirik yang dihadirkan oleh Psychotic Villager pada diskografinya.
Eksplorasi gaya musik, harmonisasi vokal beserta instrumentasi berlapis menjadi elemen fundamental dalam album ini. Hal ini dapat terdengar pada setiap lagu, dimana dinamisnya dua hal tersebut berhasil membuat tiap trek terasa punya alamnya sendiri. Mulai dari buildup lagu yang tidak terburu-buru, aransemen orkestra yang menjadi pemantik nuansa lagu hingga harmonisasi yang secara cermat ditempatkan—merupakan pengkomposisian yang dapat membuat pendengar betah mendengar tiap treknya. Kita ambil contoh, bagian penutup di trek acoustic-driven yang bercerita soal cinta dan penuh akan harmoni vokal yang dreamy bertajuk “She Once Ever Told Me.” Bagian singkat di akhir trek tersebut merupakan cara yang cukup cermat untuk menghadirkan kejutan-kejutan kecil dalam pengalaman mendengar album ini.
Dapat dibilang album ini merupakan sebuah hasil seleksi cermat dari referensi yang beragam. Seperti Rick Rubin pernah tuliskan di bukunya The Creative Act, “We are all translators for messages the universe is broadcasting.” Translasi Psychotic Villager terhadap hal-hal sederhana yang ada di kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwasanya artistry mereka bersifat jujur minim pretensi. Adrian sebagai penulis lagu bahkan mengakui bahwa dirinya tidak terlalu paham teori musik. Dengan hal ini, bisa dikatakan Psychotic Villager berhasil mengandalkan intuisi dan perasaannya untuk menyerap apapun itu yang ada disekitarnya untuk membuat karya yang terasa personal dan penuh emosi. Itu juga yang mungkin membuat kita yang mendengarkan merasa bisa cukup dekat dengan lagu-lagu pada rilisan ini.
6 trek dalam kurun waktu 6 tahun. Dan kita belum tahu apakah Psychotic Villager bisa merilis rilisan lainnya dalam waktu cepat ataupun lambat. Sedikit disayangkan rasanya untuk berfikir bahwa rilisan berikutnya dari Psychotic Villager akan datang lebih lama dari 6 tahun tersebut, mengingat mereka merilis EP inipun tak lain dan tak bukan merupakan buah hasil dari dorongan teman-teman terdekat yang cukup memaksa. Mungkin saja Adrian sebagai sisa personil original yang masih aktif memutuskan tidak kembali mengangkat gitarnya lagi dan lebih memilih menjadi produser rekaman saja. Tetapi, setidaknya album ini sudah menjadi rilisan asal Medan yang sangat berpotensi diingat dan didengarkan selalu. Jikalau waktu yang dibutuhkan sama-sama 6 tahun untuk rilisan berikutnya, satu hal yang pasti, Psychotic Villager yang mengaku sebagai seorang pemimpi dalam lagu “Over The Ocean”, tetap akan bermimpi dalam kidungnya, “I will keep on dreaming / so you may keep that notice.”