Kiss FM Medan – Prancis bersiap mengikuti jejak Australia dan melarang anak di bawah usia 15 tahun menggunakan media sosial. Presiden Emmanuel Macron membuat pernyataan mengejutkan setelah tragedi kekerasan remaja: seorang siswa 14 tahun dilaporkan membacok seorang guru bantuan di sekolah. Macron secara langsung mengaitkan pengaruh platform seperti TikTok, X (Twitter), dan Instagram terhadap peningkatan agresi di kalangan remaja.
Ia menyatakan akan mendorong Uni Eropa memberlakukan larangan serupa secara brosad, dan jika tak tercapai dalam beberapa bulan, Prancis akan melakukannya secara nasional. Verifikasi usia melalui biometrik atau pemeriksaan ID akan dipakai untuk memastikan anak di bawah 15 tahun tidak bisa membuat akun .
Langkah ini sejajar dengan Australia yang pada akhir 2024 menyetujui larangan penggunaan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun . Di sana, platform wajib menerapkan verifikasi usia atau kena denda hingga A$50 juta (sekitar Rp516 miliar). Verifikasi tersebut bisa melalui biometrik atau pemeriksaan ID, meski masih menimbulkan tantangan privasi .
Meski dimaksudkan untuk melindungi anak dari konten berbahaya seperti kekerasan, pornografi, dan narkoba — Prancis sudah sejak 2023 mewajibkan izin orang tua bagi akun di bawah 15 tahun — para kritikus khawatir anak bisa berpindah ke ruang online yang tidak terkendali, bahkan menggunakan VPN untuk menyiasati larangan.
Secara global, beberapa negara kini mulai mempertimbangkan kebijakan serupa—Norwegia juga ingin menaikkan ambang usia menjadi 15 tahun.
Intinya, langkah Prancis mencerminkan kekhawatiran soal dampak medsos terhadap kesehatan mental dan keamanan remaja. Tetapi efektivitas dan risiko privasi tetap menjadi perdebatan. Langkah berikutnya adalah memperhatikan apakah EU akan turun tangan, atau Prancis benar-benar bertindak sendiri. Yang jelas, masa depan regulasi medsos demi perlindungan anak semakin intens.