Kiss FM Medan – Tau nggak ternyata di zaman orde baru di pemerintahannya presiden Soeharto, lagu-lagu Mellow, lagu menye-menye, lagu-lagu cengeng ternyata dilarang diputar (mungkin kalau sembunyi-sembunyi boleh kali ya).
Jadi tuh alasannya karena lagu-lagu menye-menye ini bisa memudarkan Semangat Kerja Masyarakat serta Menghambat Pembangunan.
Sementara itu, hasil dari penelitian, mendengarkan musik sedih ternyata bisa berdampak buruk untuk kesehatan mental bagi sebagian orang. Sedangkan beberapa pendengar berpendapat, lagu galau bisa membangkitkan semangat karena merasa terhubung dengan lagunya atau kata lain mereka merasa mendapat teman curhat ketika mendengar lagu sedih.
Sejarah Pelarangan Lagu Cengeng Zaman Orde Baru
Semua bermula saat “Hati Yang Terluka” milik Betharia Sonata rilis. Lagu yang langsung menjadi hits ini setelah 4 hari. Lagu ini terbilang legendaris. Masyarakat Indonesia yang hidup di antara akhir 1980-an hingga 1990-an banyak yang kenal liriknya, “Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku…”
“Hati Yang Luka” sebetulnya tidaklah berbahaya. Tidak ada ujaran kebencian di dalamnya. Tapi Menteri Penerangan daripada Soeharto, Harmoko, jadi pusing karena lagu ini. Entah mendapat bisikan dari mana, Harmoko mengharamkan lagu macam “Hati Yang Luka”. Tiga hari sebelum perayaan ulang tahun TVRI ke-26, Harmoko, yang juga bos daripada koran Pos Kota, sudah omong soal lagu-lagu cengeng yang dianggapnya sebagai lagu yang “melumpuhkan semangat.” Phillips mengutip Kompas (21/8/1989) dalam artikel “Kecengengan Itu Sebaiknya Direm” dengan kalimat pembuka, “Soal lagu Hati Yang Luka yang biasa dibawakan penyanyi Betharia Sonata sambil menangis itu benar-benar mengundang perhatian.”
Dalam acara perayaan ulang tahun TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988 yang dimeriahkan musik-musik ceria, sebagai Menteri Penerangan, laki-laki pengganti Ali Murtopo itu dengan tegas mengatakan: “Stop lagu-lagu semacam itu.” Maksudnya: stop lagu cengeng.